Halaman

Kamis, 27 Oktober 2011

Selamatkan Pantura, Alasan Kereta Api dianak tirikan

diambil dari : http://jawabali.com/search/kecelakaan+lalu+lintas

Quote:April 5, 2008
Menyelamatkan Pantura
Oleh Saratri Wilonoyudho
Macetnya jalur pantai utara Jawa (pantura) sepanjang puluhan kilometer akibat banjir mestinya makin menggugah pemerintah untuk memikirkan alternatif moda angkutan lain guna mengangkut barang-barang perdagangan sepanjang Jakarta-Surabaya-Bali.

Sederhana saja, tanpa banjir sekalipun, padatnya pantura oleh truk-truk superbesar seperti tronton mudah merusak badan jalan, di samping mengganggu kelancaran arus lalu lintas karena laju truk-truk tronton tersebut bagai larinya seekor siput. Belum lagi kalau mereka istirahat di sepanjang jalan atau kalau ada yang mengalami kecelakaan dan melintang di tengah jalan!

Sialnya, selama ini yang dipikirkan pemerintah hanyalah membuat jalan tol dan bukannya, misalnya, mencari alternatif moda angkutan yang lain, misalnya kereta api. Alangkah indahnya jika barang-barang yang semula diangkut lewat truk tronton ganti digeret KA. Truk tronton hanya mengantarkan barang dari pelabuhan ke stasiun KA khusus barang dan menjemput lagi di stasiun KA khusus barang kota tujuan ke tujuan akhir.

Atau lebih indah lagi jika stasiun KA khusus barang tersebut terintegrasi dengan berbagai pelabuhan di sepanjang pantura. Dengan demikian, dapat dibayangkan pantura akan relatif lancar.

Mestinya, pemerintah berhitung lebih efisien mana antara membangun jaringan jalan tol dengan berbagai konflik ikutannya dalam pembebasan tanah maupun dampak-dampak sosial, ekonomi, serta lingkungan lainnya dengan mengalihkan alokasi pembangunan jalan tol ke pembangunan stasiun khusus barang, pengadaan gerbong baru, atau pembangunan rel ganda.

Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal hati banyak orang sampai saat ini, yakni adakah kaitan antara kemunduran dunia perkeretaapian di negeri ini dan politik kapitalisme global? Pertanyaan ini muncul karena fakta yang ada menunjukkan betapa sulitnya mengembangkan "bisnis" kereta api di negeri ini, padahal potensi untuk itu sangat besar. Kita adalah negara kaya sumber daya alam, kondisi geografis berpulau-pulau, jumlah calon penumpang banyak, jaringan rel juga mencukupi.

Di sela-sela negara-negara lain berlomba-lomba membangun angkutan masal semisal subway atau jaringan KA, sebaliknya di negeri ini, jaringan rel yang ada malah tidak difungsikan.

Lihat saja di Semarang, misalnya, jaringan rel di tengah kota yang dibangun pada zaman Belanda, kini terkubur dan raib entah ke mana. Secara umum di seluruh negeri, dari 6.482 km panjang rel KA yang ada, hanya 4.360 km yang beroperasi, dan sisanya 2.122 km merana tidak dimanfaatkan. Padahal, berapa triliun dana dibutuhkan untuk membangun jaringan rel semacam itu?

Mengapa jaringan yang ada tidak diaktifkan lagi? Alangkah indahnya jika truk-truk trailer dan kontainer yang melintasi sepanjang Surabaya-Jakarta digantikan angkutan kereta api.

Alangkah tidak "masuk akalnya" seorang pengusaha menyewa/membeli angkutan trailer untuk mengangkut berton-ton barang dengan laju seperti seekor siput hingga untuk sampai ke Jakarta diperlukan waktu berhari-hari, belum lagi mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan. Daftar kerugian ini masih diperpanjang lagi dengan akibat sosial seperti maraknya pelacuran di sepanjang jalan pantura sebagai tempat "pelepas penat" para sopir (yang "ngaso sambil mampir").

Keunggulan KA

Keunggulan lain kereta api adalah konsumsi bahan bakar yang relatif sangat irit dibanding moda angkutan lain. Kereta api yang mengangkut ribuan penumpang hanya membutuhkan tiga liter bahan bakar per kilometer. Bandingkan dengan bus yang hanya mengangkut 40 penumpang dengan konsumsi bahan bakar 0,5 liter per km atau pesawat terbang dengan daya angkut 500 dengan bahan bakar 40 liter per kilometer. Dari sisi kesehatan, kereta api juga paling sedikit menyumbang polusi udara.

Bandingkan biaya polusi tiap moda transportasi (kasus di Swedia), angkutan jalan memegang rekor dengan 16.300 US dolar, maritim 2.600 US dolar, penerbangan 9.00 US dolar, dan kereta api hanya 60 US dolar (Departemen Perhubungan, 2007). Namun, sekali lagi, mengapa di negeri ini amat susah mengembangkan industri perkeretaapian?

Dari titik ini, saya lantas ingat Michael Reploge dari Institute Transportation for Development Policy yang bermarkas di Washington, yang menyatakan bahwa perusahaan otomotif dan perminyakan berkepentingan terhadap bisnis kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga.

Konon, keengganan pemerintah daerah/kota membangun jaringan KA berkait dengan "kapitalisme global" di bidang otomotif. Akibatnya, akan lebih mudah mengajukan proposal membangun jaringan jalan tol dibandingkan dengan membangun jaringan jalan KA. Industri otomotif negara-negara maju sangat tergantung dengan "keasyikan" warga Dunia Ketiga sebagai konsumen produk mobil/motor.

Karena itu pula, dapat dipahami jika pemerintah kota lebih senang mengembangkan angkutan kota dengan mobil karena ada fee yang cukup menarik dari para industriawan otomotif.


Kalau itu yang terjadi, dapat diperkirakan di masa mendatang jalur pantura akan sekarat dan tenggelam, apalagi di masa mendatang, kota-kota di Indonesia akan mengalami gentrifikasi kota yang makin parah, yakni tersingkirnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk tinggal di luar kota. Sebaliknya, pada sisi yang lain, mereka masih sangat tergantung mendatangi lokasi kerja di pusat kota. Karena itu, mengapa tidak dipikirkan untuk membangun jaringan KA (khusus barang) antarkota tersebut dengan lebih baik?

Saratri Wilonoyudho, dosen MK Planologi, alumnus Fakultas Teknik UGM Jogjakarta, tinggal di Semarang
(jawa pos dotcom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar